Wednesday, January 19, 2011

MEMAHAMI SYURA DALAM ISLAM


Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara majorati. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?

Dalam ketatanegaraan Islam dikenal istilah ‘ahli syura’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Kerana bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sehinggakan Nabi Muhammad s.a.w pun diperintahkan untuk melakukan syura. Apatah lagi orang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di r.h. mengatakan: “Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya -padahal baginda adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling elok akhlaknya- ‘Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana orang lain yang selain beliau?” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura (الشُوْرَى) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مُشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita juga dikenali dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang-orang yang dipercayai untuk diajak bermusyawarah.

Pensyariatkannya Syura

Allah ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (Asy-Syura: 38)

Kedua ayat yang mulia itu menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan amalan Nabi S.A.W yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badar, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh Aisyah berzina, dan lain-lain. Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)

Pentingnya Syura

Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulamak, di antaranya Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkatan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faedah-faedah musyawarah di antaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah) dan menghilangkan keraguan & ketidakpuasan hati yang muncul kerana sesebuah peristiwa. Berbeza halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Ini menyebabkan orang tidak akan bersungguh-sungguh menghayati, mencintai dan sukar untuk menaatinya. Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran kerana menggunakan pada tempatnya.
4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, kerana hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Apa yang Perlu Dimusyawarahkan?


Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi SAW diperintahkan Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya sebagaimana tersebut dalam surat Ali Imran: 159. Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan, menghadapi musuh untuk melegakan para sahabatnya, dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini. Serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.
2. Justeru Nabi SAW diperintahkan untuk bermusyawarah dalam perkara itu meskipun beliau mempunyai pendapat yang paling benar karena adanya keutamaan/ fadhilah dalam musyawarah.
3. Allah SWT memerintahkan baginda untuk bermusyawarah padahal baginda sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka mengikuti baginda ketika dilanda sesuatu masalah, dan ketika mereka berada dalam sesuatu situasi, maka Allah SWT akan memberikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar dan tepat. (Tafsir Thabari, 4/152-153 dengan ringkasan)
4. Sebahagian ulamak berpendapat bahawa maksudnya adalah musyawarah pada hal-hal yang Nabi SAW belum diberi ketentuannya tentang perkara tersebut secara khusus.
5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.
6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah SWT yang harus diikuti. Juga pada urusan keduniaan yang dapat dicapai melalui idea dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)

Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau. Lalu beliau juga berkata: “Dan pasti musyawarah Nabi SAW pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah SWT. Di mana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah SWT. Jika Allah tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan. Dan nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat di atas. Juga oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau. Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan apatah lagi sesuatu yang telah ditentukan syariat .

Alasan yang menyokong hal ini adalah bacaannya Abdullah bin ‘Abbas:
وَشَاوِرْهُمْ فِيْ بَعْضِ اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Qurthubi, 4/250)

Semua hal di atas ada kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut. Allah ta’ala berfirman:

ياَ َأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُو اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Imam Bukhari mengatakan: “Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah SAW…” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]

Dan sebaliknya jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeza dengan ketentuan syariat. Imam Syafi’i mengatakan: “Seorang hakim/ pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah kerana seorang penasihat akan mengingatkannya tentang dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasihat tersebut pada apa yang dia katakan. Kerana sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi (Fathul Bari, 13/342). Imam Bukhari mengatakan: “Dan para imam setelah wafatnya Nabi SAW, bermusyawarah pada hal-hal yang mubah (harus) dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur’an maupun As Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan jika seseorang (pemimpin) bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebahagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin, maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang dipersilisihkan kaum muslimin, maka mestinya dia meminta pendapat dari tiap-tiap mereka beserta alasannya, lalu pendapat yang paling mirip dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah, hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah, hal. 58)

Al-Qurthubi mengatakan: “Syura terjadi kerana perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbezaan tersebut, kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur’an dan As sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah SWT membimbingnya kepada yang Allah SWT kehendaki, maka hendaklah dia berazam/ bertekad untuk melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah SWT. Di mana inilah kesudahan dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali ‘Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)

Siapakah Ahli Syura?


Ini merupakan pembahasan yang sangat penting kerana ahli syura sangat besar peranannya dalam menentukan sebuah keputusan, baik ataupun buruk. Sehingga jika tidak difahami secara benar, akan mengakibatkan kesan yang sangat buruk. Ketika seseorang salah dalam menentukan ahli syura yaitu dengan memilih orang yang tidak memiliki kriteria yang ditentukan syariat, maka ini akan menjadi alamat kehancuran. Oleh kerana pentingnya hal ini, Imam Bukhari telah menulis bab khusus dalam kitab Shahihnya yang berjudul: Orang Kepercayaan Pemimpin dan Ahli Syuranya.
Lalu beliau menyebutkan sebuah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلاَ اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ بِطاَنَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطاَنَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ اللهُ تَعَالىَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi dan tidaklah menjadikan seorang khalifah kecuali dia akan mempunyai dua orang kepercayaan. Salah satunya memerintahkannya kepada yang baik dan menganjurkannya, dan yang lain memerintahkan kepada yang buruk dan menganjurkan kepadanya. Maka orang yang terlindungi adalah yang dilindungi oleh Allah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, kitab Al-Ahkam Bab Bithanatul Imam, no: 7198)

Dari hadis ini dapat difahami, ada tiga jenis pemimpin: ada yang cenderung kepada yang baik, ada yang cenderung kepada yang buruk, dan ada yang terkadang cenderung kepada yang baik dan terkadang kepada yang buruk. (Fathul Bari, 13/390-391)

Atas dasar ini, akan dinukilkan keterangan para ulama yang menjelaskan siapa sebenarnya yang berhak untuk duduk di majlis permusyawaratan. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
“Seorang yang diminta musyawarahnya adalah orang yang dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6700. Lihat pula Ash-Shahihah no. 1641)

Hadis ini mengisyaratkan bahawa ahli syura haruslah orang yang amanah kerana tidak mungkin seseorang yang tidak amanah akan dipercayai. Dalam firman Allah:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Maksudnya Abu Bakar dan ‘Umar ra.” (Sanadnya shahih diriwayatkan oleh An-Nahhas dalam An-Nasikh wal Mansukh, dan Al-Hakim dan disahihkan oleh beliau dan oleh Az-Zahabi. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 289)

Baginda SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar dalam masalah tawanan perang Badar dan dalam masalah lainnya. Juga dengan Ali bin Abu Thalib dalam masalah kejadian Ifk –yaitu tuduhan zina kepada ‘Aisyah- (Shahih Bukhari no. 7369) dan juga sahabat yang lain. Yang jelas, Nabi SAW tidak mengajak musyawarah kepada seluruh para shahabatnya dalam setiap hal. Akan tetapi memilih mereka yang layak dalam perkara tersebut.

Ahli syura Abu Bakar, Maimun bin Mihran mengatakan: “Bahawa Abu Bakar jika mendapati sebuah masalah maka beliau melihat kepada Kitabullah. Jika beliau mendapatkan sesuatu yang memutuskan perkara itu, maka beliau putuskan dengannya. Dan jika baginda mengetahuinya dari Sunnah Nabi, maka beliaupun memutuskan dengannya. Bila tidak beliau ketahui, baginda keluar kepada kaum muslimin dan bertanya kepada mereka tentang Sunnah Nabi (pada perkara tersebut). Dan bila hal itu tidak mampu (menyelesaikan), maka baginda memanggil tokoh-tokoh kaum muslimin dan para ulamak mereka lalu baginda bermusyawarah dengan mereka.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih.” Lihat Fathul Bari, 13/342)
Ahli syura ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Para qurra adalah antara orang yang menjadi ahli majlis mesyuaratnya, baik yang tua atau yang muda.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7286, lihat Fathul Bari, 13/250). Ibnu Hajar mengatakan: “Al-Qurra maksudnya para ulamak yang ahli ibadah.” (Fathul Bari, 13/258)
Di antara mereka adalah Abdullah bin ‘Abbas sendiri, sebagaimana beliau kisahkan: “Umar memasukkan aku bersama orang-orang tua yang pernah ikut perang Badar, maka seolah-olah sebahagian mereka marah dan mengatakan: ‘Mengapa Umar memasukkan pemuda ini bersama kita padahal kita pun ada anak-anak seperti dia’. Maka Umar mengatakan: ‘Hal itu berdasarkan apa yang kalian semua ketahui (yakni bahawa dia dari keluarga Nabi dan dari sumber ilmu)’.” (HR. Al-Bukhari, 6/28, lihat Bahjatun Nazhirin, 1/195)
Riwayat ini menunjukkan bahwa majlis syuranya Umar adalah para sahabat ahli Badar kerana mereka lebih utama daripada yang lain. Kemudian Umar memasukkan Ibnu Abbas bersama mereka kerana ilmu yang dimilikinya, di mana ilmu beliau bahkan melebihi sebahagian sahabat ahli Badar kerana beliau didoakan oleh Nabi: “Ya Allah, fahamkan dia tentang agama dan ajari dia takwil.” (Madarikun Nazhar, hal. 162)
Dalam kejadian yang lain, Ibnu Abbas mengatakan: “Ketika itu, saya berada di tempat singgahnya Abdurrahman bin ‘Auf di Mina dan beliau di sisi Umar, dalam sebuah haji yang itu merupakan akhir hajinya. Abdurrahman mengarahkan pertanyaan kepada saya: ‘(Apa pendapatmu) jika kamu melihat seseorang datang kepada amirul mukminin (Umar bin Al-Khaththab) hari ini lalu ia mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, apakah anda dapat melakukan sesuatu pada fulan yang mengatakan: Seandainya ‘Umar telah meninggal maka aku telah membai’at fulan. Demi Allah, tidaklah bai’atnya Abu Bakr dahulu kecuali hanya sesaat lalu langsung sempurna.’ Maka (mendengar laporan itu) Umar marah lalu mengatakan: ‘Sungguh saya insyaallah akan berdiri pada petang ini di hadapan manusia dan akan memperingatkan mereka dari orang-orang itu yang ingin merampas urusan mereka.’ Maka Abdurrahman mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, jangan kau lakukan! Kerana musim haji ini menampung orang-orang hina (juga), sesungguhnya merekalah yang akan lebih banyak dekat denganmu di saat kamu berdiri di hadapan mereka. Dan saya bimbang jika engkau bangkit dan mengucapkan sebuah ucapan lalu dibawa terbang oleh setiap yang terbang, mereka tidak memahaminya dan tidak mendudukkan pada tempatnya. Maka tundalah hingga engkau pulang ke Madinah karena Madinah adalah rumah hijrah dan (rumah) As Sunnah sehingga engkau dapat mengkhususkan ahli fiqih dan tokoh-tokoh masyarakat, lalu kamu katakan apa yang mungkin kamu katakan sehingga ahlul ilmi akan memahami ucapanmu dan menempatkannya pada tempatnya’.” (Riwayat Al-Bukhari. Lihat Madarikun Nazhar, hal. 163)
Setelah terjadinya usaha pembunuhan terhadap Umar dan Umar pun sudah merasa dekat ajalnya, dia menyerahkan urusan kepemimpinan ini kepada enam orang sahabat. Dan dikatakan kepada beliau: “Berwasiatlah wahai amirul mukminin, berwasiatlah! Tunjuklah khalifah.” Jawabnya: “Saya tidak mendapati orang yang yang lebih berhak terhadap perkara ini (kekhilafahan) lebih dari orang-orang itu, yang Rasulullah SAW meninggal dalam keadaan redha terhadap mereka.” Lalu beliau menyebut ‘Ali, ‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman (Shahih, riwayat Al-Bukhari no. 3700, dengan Fathul Bari, 7/59). Umar menyerahkan urusan ini hanya kepada 6 orang shahabat yang memiliki sifat tersebut, padahal saat itu para shahabat berjumlah lebih dari 10 ribu orang. (Madarikun Nazhar, hal. 165)

Imam Al-Bukhari mengatakan: Dan para imam setelah wafatnya Nabi bermusywarah dengan para ulama yang amanah pada perkara yang mubah untuk mengambil yang paling mudah dan jika jelas bagi mereka al Qur’an maupun sunnah maka mereka tidak melampauinya untuk mengambil selainnya, hal itu dalam rangka meneladani Nabi SAW.Imam Syafi’i mengatakan: “Janganlah dia bermusyawarah jika terjadi suatu masalah kecuali dengan seorang yang amanah, berilmu dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan riwayat-riwayat dari sahabat dan setelahnya, serta berilmu tentang pendapat-pendapat para ulama, qiyas, dan bahasa Arab.” (Mukhtashar Al-Muzani, dari Madarikun Nazhar, hal. 176)
Ibnu At-Tin menukilkan dari Asyhab, seorang murid Imam Malik, bahawa Imam Malik mengatakan: “Semestinya seorang pemimpin melantik orang lain yang menerangkan kepadanya tentang keadaan masyarakatnya di saat dia sendirian. Dan hendaknya orang tersebut orang yang boleh dipercayai, amanah, cerdas dan bijaksana.” (Fathul Bari, 13/190)

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: “Hendaknya ahli syuramu adalah orang-orang yang bertakwa dan amanah serta orang yang takut kepada Allah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)
Syihristani mengatakan: “…Akan tetapi wajib bersama penguasa itu (ada) seorang yang layak berijtihad sehingga dia (penguasa itu) dapat bertanya kepadanya dalam permasalahan hukum.” (Al-Milal, 1/160, lihat Madarikun Nazhar, hal. 177)

Ibnu Khuwairiz mengatakan: “Wajib bagi para pemimpin untuk bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan pada perkara agama yang membuat mereka bingung. Juga bermusyawarah dengan para pemimpin perang pada urusan peperangan, dengan tokoh masyarakat pada urusan yang berkaitan dengan maslahat masyarakat, dan dengan para menteri dan wakil-wakilnya pada perkara kemaslahatan negeri dan kemakmurannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)

Al-Qurthubi mengatakan: “Para ulamak berkata: ‘Kriteria orang yang diajak musyawarah jika dalam perkara hukum hendaknya seorang ulama dan orang agama. Dan jarang yang seperti itu kecuali orang yang berakal. Oleh karenanya Al-Hasan mengatakan: ‘Tidaklah akan sempurna agama seseorang kecuali setelah sempurna akalnya’. Dan sifat orang yang diajak musyawarah dalam hal urusan dunia hendaknya orang yang bijak, berpengalaman dan suka terhadap orang yang mengajaknya musyawarah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250-251)

Al-Mawardi mengatakan ketika menjelaskan orang-orang yang berhak bermusyawarah untuk memilih imam/ pemimpin: “…Syarat-syarat yang harus ada pada mereka ada tiga: pertama, keadilan (yakni keshalihan agamanya) dengan berbagai syaratnya. Kedua, ilmu yang dengannya dia dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi pemimpin dengan syarat-syarat kepemimpinan. Ketiga, idea yang bagus dan bijak yang dengan itu dia boleh memilih yang paling layak untuk menjadi pemimpin.” (Al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 4)
Dari penjelasan para ulama di atas, dipahami dengan jelas bahwa ahli syura adalah para ulama yang benar-benar berilmu tentang Al Qur’an dan Sunnah Nabi serta pendapat-pendapat para ulama sebelumnya dalam berbagai masalah, bertakwa dan takut kepada Allah, juga memiliki sifat amanah, lagi bijaksana dalam memutuskan suatu urusan. Demikian pula memiliki keinginan baik untuk umat secara menyeluruh.
Jika diperlukan bermusyawarah pada urusan-urusan duniawi maka dia juga boleh melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam bidang-bidang tertentu namun tentunya dengan tidak lari dari sifat-sifat dasar di atas. Demikian pula tidak boleh dilepaskan dari para ulamak kerana merekalah yang dapat mempertimbangkan sudut maslahat dan mafsadah yang hakiki dan secara syar’i, serta sudut halal dan haramnya.

Antara Syura dan Demokrasi

Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud secara praktikal dalam sistem syura Islam. Ini adalah anggapan yang salah, dan jauhnya perbezaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbezaannya adalah:

1. Aturan syura berasal dari Allah dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara majoriti walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
2. Syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara majoriti menghendakinya, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
3. Anggota majlis syura adalah para ulamak dan yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah dijelaskan. Sedang dalam sistem demokrasi anggotanya adalah siapa pemenang dalam pilihan raya samada yang berilmu agama, yang bodoh, yang bijak, yang tidak, yang menginginkan kebaikan rakyat, dan yang mementingkan diri sendiri, mereka semualah yang menentukan hukum dengan keadaan seperti itu.
4. Dalam sistem syura, kebenaran tidak diketahui dengan majoriti tapi dengan kesesuaian terhadap sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara majoriti walaupun menentang syariat Allah SWT yang jelas.
5. Syura adalah salah cabang keimanan, karena dengan syura kita mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan demokrasi adalah ciri kekufuran kepada Allah SWT, kerana jika majoriti memutuskan perkara kekafiran maka itulah keputusan yang harus diikuti menurut mereka.
6. Syura menghargai para ulamak, sedangkan demokrasi menyamakan semua orang.
7. Syura membedakan antara orang yang shalih dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya.
8. Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeza sesuai dengan perbezaan keadaan.

Kesimpulanya : Wajiblah kita menundukkan dan menggariskan demokrasi dan membuang kelemahannya dengan melaksanakan sistem islam yang syumul.

(Lihat kitab Tanwiruzh Zhulumat, hal. 21-36 dan Fiqih As-Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 61)
Wallahu a’lam.


ABU AMMAR,
MARAN PAHANG.

Monday, January 17, 2011

HUKUM NIQAB ATAU PURDAH


Persoalan memakai purdah atau yang disebut sebagai niqab bagi wanita adalah persoalan khilafiyah yang diiktiraf. Maksudnya para ulamak berbeza pendapat mengenainya atas kaedah dan hujah yang diiktiraf untuk kedua-dua pihak. Ada di ulamak kalangan yang mewajibkannya dengan menganggap wajah wanita adalah aurat. Jumhur fuqaha’ (majoriti ulamak fiqh) pula menganggap wajah wanita bukannya aurat. Ini seperti yang disebut oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya majmu’ , katanya: “Sesungguhnya aurat wanita yang merdeka itu ialah seluruh badannya kecuali muka dan kedua tapak tangan. Inilah pendapat Imam Syafi`i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam `Auza`i, Imam Abu Thaur dan lain-lain. Demikian juga dalam satu riwayat daripada pendapat Imam Ahmad”.

Di zaman ini, di kalangan ulamak yang kuat menegaskan wajah wanita adalah aurat antaranya Syeikh Ibn Baz r.h.dalam fatwa-fatwanya yang banyak, juga Dr. Sa`id Ramadhan al-Buthi dalam buku kecilnya “إلى كل فتاة تؤمن بالله” dan sebelum itu Abu`Ala al-Maududi r.h dalam bukunya al-Hijab. Sementara yang menyatakan wajah wanita bukan aurat adalah majoriti ulama semasa, antaranya Dr. Yusuf Qaradawi dalam bukunya “النقاب للمرأة المسلمة، بين القول ببدعيته، والقول بوجوبه” Syeikh Albani r.h. dalam “جلباب المرأة السلمة في الكتاب والسنة dan selepas itu sebagai jawapan dan tambahan kepada kitab tersebut beliau menulis الرد المفحم. Demikian juga Muhammad al-Ghazali dalam banyak tempat di dalam buku-bukunya.Dan yang terbaru dari khabar yang thiqah ialah Syaikh Shuib Ar Nauuth, Muhaddis zaman kini apabila beliau ditanya.

Dalil-dalil yang dibawa oleh jumhur ulamak yang menyatakan wajah wanita muslimah bukannya aurat adalah jelas dan nyata. Antaranya:

a) Firman Allah dalam Surah al-Nur ayat 31

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Maksudnya: “Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan (tubuh) mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka”.

Berpandukan ayat ini pihak jumhur berhujah dengan dua perkara:

Pertama: Jumhur menafsirkan maksud: ِإلاّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (maksudnya: kecuali yang zahir daripadanya) ialah wajah dan tapak tangan. Ini sama seperti yang ditafsirkan oleh Ibn Abbas, Ummul Mukminin Aisyah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, al-Miswar bin Makhramah dan lain-lain. Sesiapa yang inginkan pendetilan mereka boleh melihat kitab-kitab tafsir, hadith dan fiqh ketika para ulamak menghuraikan ayat ini. Al-Syeikh al-Albani r.h. mendetilkan penbincangan ayat tersebut dalam kitabnya الرد المفحم membukti bahawa muka dan tapak tangan bukannya aurat bagi wanita muslimah dan beliau menyenaraikan riwayat para sahabah yang memegang pendapat ini.

Kedua: ayat di atas menyatakan:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

(maksudnya) “dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka”.

Allah hanya memerintahkan agar ditutup جيوب iaitu jamak kepada جيب ataupun kita terjemahkan sebagai bahagian dada yang terdedah disebabkan belahan leher baju. Ini bermaksud wanita diperintahkan agar tudung kepala mereka dilabuhkan sehingga menutup bahagian dada yang terdedah kerana belahan leher baju. Ayat ini tidak langsung menyebut agar mereka menutup wajah mereka. Kalaulah wajah itu adalah aurat, maka sudah pasti ayat ini akan turut memerintahkan agar mereka menutupnya juga.

Oleh itu Imam Ibn Hazm al-Andalusi menyebut dalam Muhalla: “Ayat adalah dalil bahawa diharuskan membuka wajah, tidak mungkin sama sekali difahami selain dari itu”

b) Firman Allah dalam Surah al-Ahzab, ayat 52

لا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ

(maksudnya) “Tidak halal bagimu berkahwin dengan perempuan-perempuan yang lain sesudah (isteri-isterimu yang ada) itu, dan engkau juga tidak boleh menggantikan mereka dengan isteri-isteri yang baru sekalipun kecantikan mereka mengkagumkanmu, kecuali hamba-hamba perempuan yang engkau miliki. Dan (ingatlah) Allah sentiasa Mengawasi tiap-tiap sesuatu”.

Ayat ini ditujukan kepada Nabi s.a.w.. Daripada ayat ini jelas bahawa para muslimat ketika zaman baginda s.a.w. tidak menutup wajah mereka, jika tidak bagaimana mungkin kecantikan mereka boleh menarik perhatian baginda. Ini tidak mungkin melainkan wajah mereka terbuka dan dapat dilihat.

c) Di dalam sebuah hadith daripada Abu Kabsyah Anmari, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فِي أَصْحَابِهِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ وَقَدِ اغْتَسَلَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ شَيْءٌ قَالَ أَجَلْ مَرَّتْ بِي فُلانَةُ فَوَقَعَ فِي قَلْبِي شَهْوَةُ النِّسَاءِ فَأَتَيْتُ بَعْضَ أَزْوَاجِي فَأَصَبْتُهَا فَكَذَلِكَ فَافْعَلُوا فَإِنَّهُ مِنْ أَمَاثِلِ أَعْمَالِكُمْ إِتْيَانُ الْحَلالِ

(Suatu ketika Rasulullah s.a.w. duduk bersama sahabat-sahabat baginda. Tiba-tiba baginda masuk (ke dalam rumah baginda), kemudian keluar dalam keadaan baginda sudah mandi. Kami pun bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah berlaku sesuatu?”. Jawab baginda: “Ya! Telah melintasi di hadapanku fulanah (perempuan tertentu yang dikenali), maka timbul dalam hatiku syahwat terhadap wanita, lantas aku pun mendatangi salah seorang dari isteriku dan menyetubuhinya. Demikianlah yang mesti kamu lakukan, kerana antara amalan kamu yang baik ialah mendatangi yang halal” (Riwayat Ahmad dan al-Tabarani di dalam الأوسط . Kata Albani dalam سلسلة الأحاديث الصحيحة sanad hadith ini hasan, bahkan lebih tinggi dari hasan إن شاء الله) .

Walaupun rawi hadith tidak menyebut nama wanita berkenaan, tetapi perkataan fulanah dalam bahasa arab bermaksud wanita tertentu yang dikenali. Ini menunjukkan Rasulullah s.a.w. mengenalinya. Sebagai Rasul yang bersifat dengan keinsanan maka timbulnya perasaan dalam hati baginda seperti mana ianya timbul dalam jiwa seorang insan lelaki yang normal. Maka untuk melepasi perasaan tersebut baginda mendatangi seorang daripada isteri-isteri baginda, iaitu Zainab seperti yang dinyatakan dalam riwayat yang lain. Juga hadith ini adalah tunjuk ajar Nabi s.a.w. secara praktikal kepada para sahabah.

Dalam riwayat-riwayat yang lain disebut:

فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَاكَ يَرُدُّ مِمَّا فِي نَفْسِهِ

“Apabila seseorang kamu melihat seseorang wanita yang mengkagumkannya, maka datangi isterinya, kerana itu dalam menyelesaikan apa yang ada dirinya” (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi,Baihaqi, Ahmad, lafaz hadith di atas ialah lafaz Imam Ahmad).

Jika kita teliti hadith ini, kita akan bertanya, “bagaimana mungkin kecantikan wanita zaman tersebut boleh menarik perhatian lelaki jika mereka semua menutup wajah atau berpurdah?. Ini menunjukkan mereka tidak menutup wajah mereka.

d) Dalam hadith yang lain yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan lain-lain:

عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْهممَا قَالَ كَانَ الْفَضْلُ رَدِيفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَشْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ وَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ

Daripada Ibn `Abbas r.a., katanya Al-Fadhl bin Abbas pernah menaiki unta yang sama di belakang Rasulullah S.a.w. Datang seorang wanita dari khasy`am. Lalu al-Fadhl memandangnya dan dia pun memandang al-Fadhl. Maka Nabi pun memusingkan wajah al-Fadhl ke arah lain.

Dalam riwayat al-Nasai dinyatakan:

فَأَخَذَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً حَسْنَاءَ وَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ فَحَوَّلَ وَجْهَهُ مِنَ الشِّقِّ الْآخَرِ

Lantas al-Fadhal bin `Abbas memandangnya. Dia adalah seorang perempuan yang cantik Maka Nabi pun memusingkan wajah al-Fadhl ke arah lain.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan wanita pada zaman Nabi s.a.w tidak menutup wajah mereka. Sementara Nabi s.a.w pula hanya memusingkan wajah al-Fadhl tanpa menyuruh wanita berkenaan menutup wajah. Sekalipun dia sangat cantik. Ini menunjukkan pendapat yang menyatakan wanita yang berwajah cantik wajib menutup muka juga adalah tidak kukuh. Jika dibaca kesuluruhan hadith kita kan tahu, peristiwa itu berlaku pada haji wada’. Sedangkan ayat hijab dalam al-Quran turun sebelum itu lagi, iaitu pada tahun 5 hijrah. Maka dakwaan yang menyatakan perintah menutup wajah datang selepas itu, adalah tidak tepat.

Inilah sebahagian daripada dalil-dalil yang banyak yang dikemukakan oleh jumhur ulamak bagi membuktikan wajah wanita bukan aurat. Berpegang kepada pendapat jumhur dalam ini adalah lebih jelas dari segi nas atau dalilnya, juga lebih memudah seseorang muslimah di dalam alam semasa yang ada. Islam itu mudah dan praktikal seperti yang ternyata pada nas-nas al Quran dan Sunnah

Tuesday, January 4, 2011

CINTANYA ALLAH SWT KEPADA HAMBANYA

Sebagaimana yang kita tahu, sangat banyak buku-buku agama bertebaran di perpustakaan dan kedai-kedai yang mengajarkan kita bagaimana cara kita mencintai Allah SWT. Semuanya berbicara tentang bagaimana cara kita mencintai Allah, atau bagaimana seorang hamba berusaha untuk mencintai tuhannya Yang Maha Tinggi? Jika ada seorang rakyat jelata yang menghormati rajanya yang besar dan agung, itu merupakan hal yang biasa dan tidak aneh! Tapi cuba kita lihat, kalau ada orang yang darjatnya lebih tinggi mencintai orang yang martabatnya lebih rendah, itu adalah hal yang mengkagumkan!

Persoalanya bagaimana Allah mencintai hambanya? Mungkin seseorang bertanya atau merasa aneh, mungkinkah Allah SWT sebagai tuhan yang maha agung dan tinggi mahu mencintai kita yang hanya sebagai seorang makhluk?

Namun pada hakikatnya ... ternyata Allah SWT sangat mencintai manusia!
Lalu apakah istimewanya, kalau Allah mencintai kita? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ. (رواه البخاري)

Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah SWT jika mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil malaikat Jibril dan berkata: “Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia!” Maka Jibril pun mencintainya, lalu Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit dan berkata: “Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kamu semua, maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Kemudian orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini.” (HR. Bukhari)

Masya Allah! Lihatlah cinta Allah SWT... bagaiamana Allah mengumumkan cintanya kepada sekalian makhluknya?

Marilah kita selami makna hadis ini... bagaimana Allah mencintai seseorang? Pernahkah terdetik dalam hati kita, jika ada salah seorang yang hadir di sesuatu majlis yang kita adakan adanya seseorang yang termasuk dikalangan orang-orang yang dicintai Allah? Ketika Allah SWT mencintai hambanya, Allah yang maha tinggi tidak hanya cukup mengatakan aku cinta kepada orang ini! Tapi Allah umumkan kepada seluruh penjuru makhluk-Nya! Apa kata Allah dalam hadis tadi?

"إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ"
“Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia, lalu jibril pun mengumumkannya kepada seluruh makhluk di langit!”
فَيَقُولُ (جبريل): إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ.
Maka Jibril pun mengumumkan kepada seluruh penduduk langit, para malaikat, para nabi, para wali Allah dari kalangan jin dan manusia, “Sesungguhnya Allah telah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kamu semua! Kemudian orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini.”

Jika seseorang telah dicintai oleh Allah, maka hidup ini terasa tenang, damai, dan tenteram penuh kasih sayang, perlindungan dan rahmat-Nya Ta’ala. Apa yang diminta akan diberi, apa yang diinginkan akan terkabul. Segala keperluannya akan dipenuhi, dan diakhirat mendapatkan redha dan perlindungan-Nya dari siksaan api neraka.

Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
“من عاد لي وليا فقد آذنته بالحرب”
“Orang yang bermusuh dengan ku sebagai Pemimpin atau Pelindung maka aku umumkan perang keatasnya”

Siapakah Wali atau kekasih Allah itu?
"اَلاَ إنَّ أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون"
“Ketahuilah sesungguhnya para waliyullah tidak merasa takut dan sedih, mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa”.

Lalu Allah SWT melanjutkan firman-Nya dalam Hadis Qudsi tadi:
"وما تَقَرَّبَ إليَّ عبدي بشيئ أَحَبَّ إليَّ مما افترضتُهُ عليه ولا يزال عبدي يتقرَّبُ اليَّ بالنوافلَ حَتَّي أحبَّه فإذا أحببتُهُ كنتُ سمعَه الذي يسمع به وبصره الذي يُبْصِرُ به ويَدَهُ التي يَبطِش بها ورجلَه التي يَمشِي بها ولإن سألنيْ لأُعطينَّه ولإنِ استعاذَ بيْ لأُعيذنَّه."
Allah SWT berfirman, “Tidak seorangpun hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling aku cintai, melainkan dengan apa yang telah aku wajibkan kepadanya.Sentiasalah hambaku itu mengerjakan ibadah-ibadah nawafil (amalan-amalan sunnah) sehingga aku mencintainya. Ketika aku telah mencintainya, maka akulah yang akan menjadi telinga yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dia gunakan untuk melihat, tangan yang dia gunakan untuk memukul, kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti aku berikan, dan jika dia perlukan perlindungan-Ku, pasti aku lindungi.”

Melalui Hadis Qudsi ini, kita boleh memahami bahawa seorang hamba yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT adalah seorang hamba yang mampu menggabungkan antara suatu kewajiban (fara`idh) dengan amalan sunnah (nawafil) . Tidak ada artinya amalan sunnah, atau ibadah-ibadah yang sifatnya sekunder di saat hal-hal yang lebih wajib ditinggalkan. Jika kita mengerjakan sholat sunnah Dhuha atau shalat Qobliyah dan Ba’diyah , jangan sampai kita meninggalkan kewajiban sholat yang lima waktu yang fardhu. Kita menunaikan haji ke Baitullah untuk yang ke sekian kalinya, tetapi sepatutnya juga kita harus melihat apakah orang-orang miskin disekeliling kita sudah kita bantu. Jangan sampai kita selalu melaksanakan ibadah sunnah yang dianjurkan oleh baginda Rasulullah Saw, tetapi kita tidak menjaga tali silaturrahim yang wajib.
Di saat kita boleh mengerjakan antara amalan-amalan yang wajib dan sunnah, maka di saat itulah seorang manusia menjadi lebih istimewa di hadapan Allah SWT. Namun yang perlu untuk selalu kita ingat adalah, bahawa ibadah itu ada dua, hubungan dengan Allah SWT dan hubungan dengan makhluk-Nya di dalam berbuat baik. Dan mesti pula harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan didalam mengerjakannya. Tanpa keimanan dan keikhlasan, maka semua itu akan hampa, tiada ertinya.

Berkaitan dengan betapa Allah SWT sangat mencintai kita manusia sebagai hambanya, ada sebuah hadis yang sering kita dengar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a :

"فَإِذَا مَضَى ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُ اللَّيْلِ نَزَلَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَأَتُوبَ عَلَيْهِ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأُجِيبَه، وذلك في كُلِّ لَيْلَةٍ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ." (رواه البخاري)
“Jika telah lewat tengah malam atau sepertiga malam yang akhir, Allah Yang Maha Mulia dan Agung turun kelangit yang paling rendah (langit dunia), lalu berfirman: Adakah orang yang meminta kepada-Ku saat ini, pasti akan aku beri, adakah orang yang memohon ampun, pasti aku ampuni, adakah orang yang bertaubat, pasti aku berikan taubat-Ku, adakah orang yang memerlukan-Ku, pasti akan aku penuhi.” Dan itu terjadi setiap malam hingga terbit fajar”. (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita menyembah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT atas dasar cinta kita kepada-Nya dan diiringi oleh rasa takut atas murka dan siksanya. Kerana Allah SWT juga sangat mencintai kita, bahkan dalam banyak ayat Alquran selalu diawali dengan kasih sayang-Nya terlebih dahulu, seperti firmannya:
“فسوف يأتي اللهُ بقومٍ يحبهم ويحبونه”
“Maka Allah SWT akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan merekapun mencintai Allah SWT . Rasulullah SAW bersabda:

"سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ" (متفق عليه).
“Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya: Imam yang adil, pemuda yang rajin beribadah, seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai, bertemu dan berpisah hanya kerana Allah, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah, seorang yang menyembunyikan sedekahnya tidak ingin dilihat orang, dan seorang yang mengingat Allah dalam keheningan hingga menitikkan airmata.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

CALENDER