عَنْ عَبْدُالله بن مَسْعُود رَضِى اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ (ثلاث)
(رواه مسلم)
٢) قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ، فإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلِكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
(رواه ابن ماجه)
٣)عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عَنْهُ عَن النَّبىِّ صَلَّى الله عَلَيْهَ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ اَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا، بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلَجَةِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) وَفِي لَفْظٍ: وَالْقَصْدُ الْقَصْدُ تَبْلُغُوْا
(رواه البخاري)
Terjemahan:
1. Daripada Abdullah Bin Mas’ud (ra) katanya: Telah bersabda Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam): Binasalah orang yang tanaththu’ (3x).
[Hadis Sahih Riwayat Imam Muslim]
2. Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: Jauhilah olehmu daripada ghuluw dalam beragama, karena binasanya orang-orang sebelum kamu (Ahlul Kitab) adalah disebabkan sikap ghuluw mereka dalam beragama.
[Hadis Riwayat Ibnu Majah dengan sanad Sahih]
3. Daripada Abi Hurairah (ra) katanya: Telah bersabda Rasul (sallallahu alaihi wasalam): sesungguhnya agama (Islam) itu mudah, dan tidaklah sama sekali seseorang yang tasyaddud dalam beragama melainkan pasti agama itu akan mengalahkannya, oleh sebab itu hendaklah kamu menepatinya dan menghampirinya dan bergembiralah (dengan berita itu). Dan mohon pertolonganlah kamu dengan waktu pagi dan petang dan sedikit daripada waktu malam. (Dan dalam lafaz yang lain pula): Hendaklah kamu bersikap sederhana, hendaklah kamu bersikap sederhana, niscaya kamu akan sampai (kepada tujuan yang selamat).
[Hadis Riwayat Imam Bukhari]
Mukaddimah:
Iblis sangat benci kepada manusia yang suka mendalami ilmu-ilmu agama atau Tafaqquh Fid Diin. Malahan Iblis atau syaitan sangat takut kepada mereka. Sebaliknya Iblis sangat suka kepada orang-orang jahil walaupun ia banyak beribadat dan kelihatannya taat kepada Allah. Tetapi jangan disangka Iblis berhenti menggoda orang yang berilmu. Dengan sifat Khannaasnya (datang dan pergi dengan pantas), Iblis akan terus berusaha menyelewengkan manusia yang berilmu dan kuat beragama daripada jalan Allah yang lurus (Shirathal Mustaqim). Bagaimana cara Iblis memesongkan orang-orang yang kuat beragama? Di antara caranya ialah dengan mendorong mereka supaya bersikap GHULUW atau TANATHTHU’ atau TASYADDUD.
Di dalam hadis di atas baginda Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) telah melarang kita daripada memiliki sikap tersebut karena sikap itu bukan saja boleh membinasakan diri yang bersangkutan, tetapi juga boleh merosak image Islam yang indah di mata muslimin yang masih lemah imannya sehingga mereka merasa keberatan dengan ajarannya atau di mata non-muslim sehingga mereka takut memeluk Islam. Padahal Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) dalam hadisnya yang lain bersabda: “Permudahkanlah dan janganlah kamu mempersulit”. [HR Bukhari]
Larangan di atas bukan hanya tercantum di dalam hadis-hadis Nabi (sallallahu alaihi wasalam) tetapi juga banyak terdapat di dalam Al-Quran. Lihat An-Nisaa :171 dan Al-Maidah :77.
Makna GHULUW, TANATHTHU’. TASYADDUD:
Ketiga-tiga istilah di atas hampir sama maknanya iaitu:
Berlebih-lebihan atau melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh syare’ah (agama).
Uraian Hadis:
Hadis (1):
Imam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya: Iqtidhaaus Shirathal Mustaqim I/288-289 menyebut: Larangan ghuluw dalam urusan agama adalah menyeluruh dalam semua bidang ajarannya, apakah yang bersangkutan dengan akidah ataupun amalan.
Hadis (2):
Imam An-Nawawy dalam kitabnya: Riyadhus Shaalihin m/s 78, berkata: Al-Muthanaththi’un ialah orang-orang yang terlalu mendalam-dalami dan memberat-beratkan urusan agamanya pada tempat-tempat yang sebenarnya tidaklah berat.
Hadis (3):
Imam An-Nawawy dalam kitabnya yang sama m/s 78 berkata: Mutasyaddid akan dikalahkan oleh agamanya. Maksudnya orang berkenaan akhirnya tidak terdaya untuk menjalankan kehendak agamanya karena tuntutannya yang terlalu banyak. Oleh itu Nabi (sallallahu alaihi wasalam) menyuruh kita agar memanfaatkan masa pagi, sore dan sedikit waktu malam untuk beribadah karena pada waktu-waktu itulah badan segar beribadah dan tidak membosankan. Perjalanan manusia menuju akhirat tidak obahnya bagaikan musafir yang sedang menuju ke suatu destinasi. Dia tidak sepatutnya gopoh-gapah tidak menentu karena ingin cepat sampai. Dia akan rehat jika penat dan meneruskan perjalanannya lagi jika badan sudah segar. Dengan cara demikian ia akan sampai ke matlamat yang dituju dengan selamat.
Dalam kitab Dalilul Faalihin I/384 dikatakan pula: Maksud hadis ini agar jangan ada di antara kita yang terlalu mendalam-dalami dan memberat-beratkan amalan-amalan agama dan meninggalkan kesederhanaan dan tidak bersikap lemah-lembut, karena jika itu terjadi niscaya kelak dia akan meninggalkan keseluruhan amalan agamanya atau sebahagian daripadanya. Atau dengan makna lain: Hendaklah kamu bersikap sederhana atau tawashshuth (pertengahan) tanpa ifrath dan tafrith.
Gejala-gejalanya:
Ekoran daripada memiliki sikap di atas maka muncullah pada diri muslim-muslimat berkenaan beberapa gejala kurang sehat yang nyata dapat kita lihat, di antaranya:
Sikap fanatik (ta’ashshub) dengan suatu pandangan dan tidak mahu i’tiraf atau menghormati pandangan orang lain. Orang jenis ini selalu berkata: Adalah hak aku untuk mengatakannya, dan kewajipan kamu hanya mendengar. Adalah hak aku untuk memimpin, dan tugas kamu mengikuti saja. Pandangankulah yang benar dan tidak mungkin salah. Pandangan kamu salah dan tidak mungkin benar.
Sentiasa gemar memilih perkara yang berat-berat dan menyuruh orang lain agar berbuat demikian, walaupun ia mengetahui ada dalil-dalil yang meringankannya. Nabi (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Permudahkanlah dan jangan mempersulitkan”.
Bersikap keras dan kasar dalam uslub dan ucapan. Orang jenis ini tidak pernah mengenal istilah tolak ansur dan kompromi dalam semua hal. Padahal dalam Islam kita tidak boleh kompromi hanya dalam akidah bukan dalam bab amalan. Hikmah dan lemah lembut sangat dituntut dalam segala hal. Nabi (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Rafiq, (Dia) menyuqai RIFQ (lemah lembut) dalam segala urusan”. [Hadis Sahih Riwayat Imam Bukhari]
Mudah berburuk sangka dan menuduh orang lain tanpa bukti atau sebab yang munasabah. Tidak suka menerima keuzuran atau alasan, bahkan gemar mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal sebahagian Salafus Saleh berkata: Aku akan menerima keuzuran daripada saudaraku walaupun sampai 70 kali: Kemudian akku akan bertanya: “Barangkali dia masih ada keuzuran lain yang aku tidak mengetahuinya”. Sungguh tepat firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa”.
(Al-Hujurat 49:12)
Sebab-sebabnya:
Kalaulah demikian bentuk dan gejala ghuluw – thanaththu’ dan tasyaddud, maka apakah yang menjadi punca penyebabnya?
1. Jahil tentang agama:
Yang dimaksudkan dengan jahil tentang agama di sini dapat dilihat daripada beberapa sudut, antaranya:
(a) Kedangkalan ilmunya dalam memahami “maqashid syari’ah” (maksud agama) yang berkaitan dengan konsep taiysir (kemudahan) dan raf’ul haraj (tidak menyusahkan) ke atas orang mukallaf.
(b) Kejahilannya tentang batas-batas syare’ah yang wajib dipatuhi oleh setiap mukallaf dan tidak boleh dilampaui sehingga akhirnya yang sunat dirobahnya menjadi wajib dan yang makruh menjadi haram.
(c) Tidak tepat dalam memahami mashusuh (dalil-dalil) syare’ah, karena ia melihat hanya sebahagian nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah tetapi melupakan bahagian-bahagiannya yang lain.
Imam Asy-Syaathiby dalam kitabnya Al-I’tishaam I/244 berkata: Penyebab ghuluw yang utama dalam kontek ini hanya satu iaitu jahil dengan maqashidusysyara’ (maqsud agama) dan tidak mampu menghubungkaitkan antara satu aspek agama dengan aspeknya yang lain. Imam-imam Rashikin (Ulama yang betul-betul pakar dalam bidang agama) melihat syare’at sebagai suatu kesatuan yang berkaitan rapat antara kully dengan juz’iy, antara ‘aam dengan khas, antara mutlak dengan muqayyad.
2. Mengikut hawa nafsu:
Dan di antara penyebab ghuluw ialah karena terlalu mengikuti perasaan dan hawa nafsu. Allah SWT mencela sikap demikian dalam banyak ayat-ayat Al-Quran, antaranya:
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ
Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.
(Ar-Ruum 30:29)
Contoh-contohnya:
Supaya kita mendapat suatu gambaran yang jelas tentang sikap ghuluw atau tanaththu’ atau tasyaddud di atas maka berikut ini diberikan beberapa contoh, antaranya:
i. Golongan Khawarij. Mereka ghuluw dalam nushush wa’iid (janji siksa) tetapi ihmaal (mengabaikan) nushush wa’d (janji manis). Akhirnya mereka dengan mudah menghukumkan kafir setiap muslim yang melakukan dosa besar dan mereka akan kekal abadi di dalam neraka.
ii. Golongan Murji-ah. Mereka ghuluw dengan nushush wa’d tetapi ihmaal dengan nushush wa’iid. Oleh itu mereka mendakwa kononnya dosa besar yang dilakukan oleh muslim sedikitpun tidak merosakkan imannya.
iii. Golongan Syi’ah. Mereka ghuluw terhadap Saidina Ali (ra) sehingga tidak mengakui khalifah-khalifah Rasyidin yang lain. Mereka juga ghuluw dengan mendakwa Imam-imam mereka bersifat ma’shum (tidak pernah melakukan dosa).
iv. Segelintir Ahlus Sunnah Waljama’ah yang karena terlalu cinta kepada Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) sehingga mereka menyanjung baginda melampaui batas yang diizinkan oleh Allah SWT. Mereka ghuluw dalam hal Ta’zim (menyanjung) tetapi ihmaal dengan aspek Akidah (Tauhid). Lihat nota: Bukti Cinta Kepada Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam).
v. Contoh lain: Ghuluw dalam da’wah tetapi ihmaal dengan tanggungjawab terhadap keluarga. Ghuluw dengan sesetengah hadis tetapi ihmaal dengan hadis-hadis yang lain seperti mengharamkan wanita memakai perhiasan emas (Lihat nota: Apakah hukumnya wanita memakai perhiasan emas?)
vi. Contoh lain: Ghuluw dalam ibadah, ihmaal dalam kemasyarakatan. Ghuluw dalam pakaian yang zahir, ihmaal dengan pensucian hati. Ghuluw dengan Fiqhul Ibadah, ihmaal dengan Fiqhud Da’qah dan Fiqhus Siirah.
Cara mengikis sifat tersebut:
1. Hendaklah kembali kepada ajaran Al-Quran dan As-Sunnah secara menyeluruh, bukan setengah-setengah.
2. Hendaklah juga memahami “Maqashidusysyara’ “ (maksud-maksud agama). Dengan memahaminya akan menolong kita mengambil hukum daripada dua sumber di atas dengan lebih tepat tanpa menggadaikan prinsip.
3. Selain Al-Quran dan As-Sunnah, kita juga mesti mengakui adanya sumber hukum tambahan yang telah disepakati iaitu IJMA’ ULAMA dan QIYAS sekiranya suatu hukum tidak wujud secara pasti di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
4. Inilah cara dakwah Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) dan para sahabat serta Salafus Saleh. Dan inilah juga perjalanan dakwah AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH.
Nasihat:
1. Dalamilah selok-belok agama, apakah melalui bacaan atau mengikuti pengajian. Dan jika terdapat perbedaan pandangan pilihlah mana yang diyakini lebih baik dan lebih kuat dalilnya. (Lihat Nota: Ikut Mana Yang Lebih Baik).
2. Jika anda mengambil pandangan yang lebih kuat, itu tidak berarti anda telah mendapat lesen untuk menyalahkan orang lain secara melulu sebab barangkali mereka juga mempunyai dalil dan pandangan tersendiri. (Lihat Nota: Adab-adab perbedaan pandangan).
3. Perbedaan pandangan telah wujud sejak zaman Nabi (sallallahu alaihi wasalam) lagi. Baginda menghadapinya secara wajar dan dapat menerimanya dengan dada terbuka. Mengapa kita sebagai Pendukung Sunnah tidak boleh berbuat demikian?
4. Kita tidak setuju dengan orang yang mewajibkan taqlid dan ta’ashshub sesuatu mazhab secara membuta tuli, sebagaimana kita juga tidak setuju dengan ulama yang digelar “semua boleh” karena sikap tersebut berarti tidak mensyukuri nikmat akal dan dapat mematikan minda serta mempersenda guraukan hukum Allah dan hukum Rasul (sallallahu alaihi wasalam).
5. Sikap yang paling baik ialah memberi beberapa pandangan dengan hujjahnya masin-masing. Kemudian buatkanlah kesimpulan mana pandangan yang lebih RAAJIH (lebih kuat). Inilah tugas pendakwah. Bukan memaksakan satu pandangan saja yang mesti diikuti.
6. Kita mestilah mengakui bahwa di antara fitrah semulajadi manusia ialah tidak suka dipersalahkan. Oleh itu kita mestilah berhati-hati dalam menegor. Kita mesti ingat “sunnah tadarruj” walaupun ia menyangkut perkara bid’ah.Jangan sampai pendakwah membuat bid’ah yang lebih besardari bid’ah orang yang ditegor. Dalam hal ini pendakwah mesti memahami kaedah: “Irtikaab Akhaffudh Dhararain” iaitu mengambil mana yang lebih ringan mudharatnya.
7. Masyarakat kita pada akhir-akhir ini sudah mula dapat menerima Sunnah dan beransur-ansur meninggalkan adat istiadat yang bercanggah dan bid’ah. Ini berkat kesabaran para pendakwah yang faham dengan Sunnah Tadarruj. Oleh itu para jemaah tolong jangan “kacau daun” sehingga usaha yang dibuat selama ini menjadi mentah kembali.
8. Jangan cepat menuduh: Ulama itu jahil, ulama itu tidak betul, ulama menyembunyikan kebenaran, dan sebagainya.Besar kemungkinan apa yang baru anda ketahui hari ini,sudahpun mereka ketahui puluhan tahun yang lalu. Tetapi karena ilmu mereka yang syumul (menyeluruh) merangkumi semua aspek agama, dan dapat memahami sunnah tadarruj dalam menyampaikan kebenaran, lagi pula ada sumber lain boleh meragukan pandangannya, maka mereka akhirnya mengambil sikap lebih baik perkara itu tidak dibangkitkan terlebih dahulu karena akidah umat masih belum begitu kokoh. Sungguh tepat sabda baginda:
“Cukuplah seseorang itu digolongkan sebagai pembohong, jika ia memperkatakan semua apa yang dia pernah dengar”.
[Hadis Sahih Riwayat Imam Muslim]
Jadi siapakah yang jahil sebenarnya? Mereka atau kita?
9. Rifq (lemah lembut) jangan disinonimkan (disamakan) dengan “tidak mempunyai pendirian”, sebagaimana tasyaddud dan ghuluw jangan pula disamakan dengan Istiqamah (teguh pendirian).
10. Perlakuan manusia adalah hasil dorongan hatinya. Kalau begitu, bukankah cara yang paling tepat untuk merobah perlakuan manusia, kalau hati nuraninya dan mindanya yang perlu kita rebut dan perbetulkan? Jadi melalui pendidikan dan pendedahan kebenaran secara tadarruj (step by step) akan muncullah generasi berilmu yang bukan saja akan memihak kepada kebenaran, malahan akan ISTIQAMAH membela kebenaran.
11. Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada seketul daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rosak maka rosaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dialah HATI”.
[HR Bukhari]
“Perlahan-perlahan (beransur-ansur) adalah daripada Allah SWT dan tergesa-gesa (gopoh) adalah daripada syaitan”.
[Hadis Hasan Riwayat Ibnu Abi Syaibah]
12. Semoga dengan pendedahan ini para jamaah yang terlalu bergairah “ikut sunnah” dapat berfikir sejenak apakah cara mereka selama ini ikut sunnah atau justeru bercanggah dengan sunnah. Apakah caranya selama ini turut menolong menyuburkan pertumbuhan sunnah di rantau ini atau justeru sebaliknya membuat masyarakat benci dan lari dari Sunnah?
13. Untuk mendapatkan hasil dakwah yang berkesan dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat, para pendakwah jangan hanya terikat pada Fiqhul Ibadah, tetapi mestilah juga mendalami Fiqhus Siirah dan Fiqhud Da’wah. Sebab hanya dengan demikian kita (Insya Allah) dapat menyelesaikan semua masalah dengan lebih berkesan sebagaimana dikatakan dalam pepatah: “Rambut tak putus, tepung tak tumpah”.
14. Dengan pendedahan ini juga diharapkan masyarakat dapat menyadari bahwa aliran dakwah yang dibawa oleh pendakwah-pendakwah di bawah Islamic Counsellor Kedutaan Arab Saudi di Kuala Lumpur bukanlah dakwah yang keras tidak menentu tetapi bersifat mendidik dan memperluas minda. Shalaabah (tegas) dalam perkara ushul (prinsip), dan akan bersikap Muruunah (flexible) dalam perbedaan pendapat tentang perkara furu’ (cabang).
15. Pengikut Sunnah yang Ekstrim barangkali akan menuduh sikap di atas adalah tidak sunnah karena tidak tegas. Kepada mereka dinasehatkan bahwa Nabi Muhammad (sallallahu alaihi wasalam) tidak tegas dan keras dalam semua hal. Malah beliau sentiasa menekankan umatnya agar I’tidal (sederhana) dalam semua hal. I’tidal dengan pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya, bukan tatharruf (mengabaikan tuntutan) dan bukan pula Ithraaf (melampaui batas tuntutan).
16. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan yang pernah dikatakan oleh para ulama: ISTIGHFAAR yang masih berhajat kepada ISTIGHFAAR.
Rujukan:
Nahwa Da’wah Islamiyah Rasyidah - Dr. Mohd A. Kadir Hanadi
Iqtidhaus Siratil Mustaqim - Ibnu Taimiyah
Riyadhush Shaalihin - Imam An-Nawawy
Fiqhus Siirah - Mohd Al-Ghazaly
Fiqhud Dakwah - Dr. Mohd Natsir
Tadzkiratud Du’aah - Al-Bahy Al-Khauly
Ibaahatut Thahally Bizzahab Al-Muhallaq Lin Nisaa Warrad ‘Alaa Al-Albaany Fii Tahriimihi - Syekh Ismail Al-Anshary
No comments:
Post a Comment